Pages

Selasa, 23 November 2010

Pengaruh Promosi dan Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian Harian Umum SOLOPOS di Kota Surakarta

“Pengaruh Promosi dan Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian Harian Umum SOLOPOS di Kota Surakarta”.

Latar belakang

PEMASARAN bukanlah urusan penjualan atau distribusi saja. Prosesnya, yang meliputi
kegiatan praproduksi sampai pemenuhan kepuasan konsumen purnajual, mencakup juga tujuan
perusahaan demi menciptakan kepuasan konsumen.
Demi memenangkan persaingan, pemahaman perilaku konsumen adalah akar persoalan yang tak
dapat perusahaan pandang sebelah mata. Wajib hukumnya, perusahaan menjadi yang terdahulu
melakukan analisa kesempatan pasar, pemenuhan marketing-mix, serta penyelarasan ulang
strategi yang berkiblat pada perilaku konsumen. Mengapa demikian?
Kini, seiring terjadinya kemajuan di berbagai bidang, konsumen menjadi lebih selektif dalam
membeli. Mereka semakin jeli menilai atribut-atribut produk. Artinya, merka hanya akan
memilih produk/merk yang memberikan kepuasan tertinggi, sesuai dengan jangkauan
ekonominya.
Faktor-Faktor yg mempengaruhi perilaku konsumen
Banyak faktor pengaruh yang turut andil jika kita hendak membicarakan perilaku konsumen
antara lain :

Faktor internal : , sikap, kepribadian, penghematan, dan proses belajar.
Faktor eksternal : faktor kebudayaan, keluarga, kelompok referensi, kelas sosial, demografi, dan
ekonomi (James F. Engel, 1995: 10).
Perilaku konsumen sendiri, menurut James F. Engel dalam (dalam Fandy Tjiptono, 1997: 19),
merupakan tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh,
menggunakan, dan menentukan produk dan jasa. Juga termasuk di dalamnya, proses
pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut.
Keputusan pembelian mempunyai beberapa pertimbangan, di antaranya: harga, keputusan
tentang jenis produk, bentuk produk, merk, hingga ke baik-buruknya pelayanan yang
dirasakan.
Berpromosi
Selain dengan mengawal terus-menerus kualitas produk, kegiatan berpromosi pun tak boleh
perusahaan anggap sepele. Ia juga titik sentral kegiatan pemasaran. Tujuan berpromosi adalah
meningkatkan kesadaran akan merk (brand) dan citra (image) masyarakat terhadap produk
maupun perusahaannya.
Menurut Fandy Tjiptono (1997: 219), promosi adalah aktivitas yang berusaha menyebarkan
informasi, mempengaruhi/membujuk, dan/atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan
dan produknya. Dengannya, diharapkan pasar bersedia menerima, membeli, hingga terbentuk
loyaitas akan produk yang ditawarkan.
Ada empat tujuan promosi, menurut Basu Swastha dan Irawan (1990: 353), yaitu: (1)
memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4) mengingatkan. Suatu
promosi dikatakan berhasil hingga ia mampu memenuhi empat kriteria di atas. Ia harus dapat
menumbuhkan kesadaran konsumen akan merk dan citra produk, untuk selanjutnya
membujuk masyarakat membeli produknya. Kini, di tengah pesatnya persaingan dunia usaha,
segala sesuatu kian gencar dijadikan bahan jualan oleh para pelaku usaha. Demikan halnya
dengan informasi. Ia bukan lagi sekadar kebutuhan.
Persis adagium information is power (penguasaan informasi adalah kekuatan), ia sudah menjadi
komoditi strategis bagi khalayak.

Pers Indonesia
sejak akhir abad ke-20 informasi berubah menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Para
pelaku usaha berlomba-lomba menjadikan pers sebagai lembaga bisnis.
Usaha penerbitan surat kabar, misalnya, kini mulai dikelola secara profesional dengan
berorientasi keuntungan (profit oriented). Ia menjadi percaturan bisnis yang menggairahkan.
Mengapa bisnis penerbitan pers kian tumbuh subur? Menurut McLuhan, dalam melaksanakan
hajatnya, manusia membutuhkan media massa untuk memperoleh informasi, sekaligus
berkomunikasi dengan lingkungannya (dalam Totok Djuroto, 2000: 97).
Maxwell E. McCombs dan Lee B. Becker dalam bukunya, Using Mass Communication Theory,
menyebutkan tujuh sebab mengapa manusia membutuhkan media massa: (1) mengetahui apa
yang penting dan perlu baginya, (2) menjadi bahan rujukan sebelum mengambil keputusan, (3)
memperoleh informasi sebagai bahan pembahasan, (4) memberikan perasaan ikut serta dalam
setiap kejadian, (5) memberikan penguatan atas pendapatnya, (6) mencari konfirmasi atas
keputusan yang diambilnya, dan (7) memperoleh relaksasi dan hiburan (dalam Totok Djuroto,
2000:97).
Di Indonesia, momentum kebangkitan industri pers bermula sejak terbitnya UU No 40/1999
tentang Pers, tepatnya pasca-tumbangnya Orde Baru. Bak cendawan di musim hujan, surat kabar
lokal alias community newspaper mulai tumbuh di mana-mana. Maklum, sejak adanya maktub
ini, pendirian lembaga pers tak lagi mengharuskan lisensi dari pemerintah. Asalkan berbadan
hukum, siapa saja boleh mendirikan penerbitan pers.
Tak pelak, tak hanya tingkat provinsi, wilayah kabupaten hingga kecamatan pun kini memiliki
surat kabarnya sendiri. Berlakunya otonomi-daerah pun ditengarai membidani lahirnya beragam
surat kabar lokal di daerah. Menurut data Depkominfo, hingga tahun 2000 saja, surat izin usaha
penerbitan pers (SIUPP) yang telah dikeluarkan pemeritah mencapai sekitar 1.800-2.000,
sementara oplahnya mencapai 14 juta eksemplar (Totok Djuroto, 2000: 93).
Di era kekinian, penerbitan pers dituntut mumpuni membaca keinginan konsumen dalam
mempertahankan ataupun memperluas ceruk pasarnya. Pengelola surat kabar harus terang
merumuskan bauran pemasaran yang tepat untuk memenangkan publik pembaca. Sebab,
perubahan besar dunia komunikasi informasi dan meningkatnya kaum terdidik, ikut andil dalam
mendongkrak tuntutan kualitas yang lebih baik.

Harian SOLOPOS
Untuk itu, di tengah gencarnya persaingan surat kabar, khususnya di Jawa Tengah, Harian
Umum (HU) SOLOPOS, surat kabar harian pagi yang terbit di Kota Surakarta, harus terus
berusaha mempertahankan oplahnya.
Awalnya, persiapan penerbitan koran terbesar di eks-Karesidenan Surakarta ini mulai intensif
Sejak SIUPP turun pada 12 Agustus 1997. SOLOPOS, berdasarkan SIUPP-nya, disebutkan terbit
7 kali seminggu. Edisi Minggu sendiri, terbit pertama kali pada 28 Juni 1998.
Berbeda dengan koran-koran di daerah lain yang umumnya mengklaim diri sebagai Koran
nasional yang terbit di daerah, SOLOPOS justru menempatkan diri sebagai koran daerah.
Pasalnya, koran yang diterbitkan PT. Aksara SOLOPOS ini ingin besar di daerah bersama-sama
dinamika masyarakat Surakarta yang bakal menjadi kota internasional.
Selain kejumudan persaingan surat kabar di atas, terbentuknya masyarakat lilterasi di negeri ini
nyatanya masih jauh dari harapan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 (Suara
Merdeka, 15 Maret 2007), penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11
persen, sedangkan tabloid/majalah sebesar 29,2 persen.
Untuk buku, ternyata jenis fiksi lebih digemari, yaitu sebesar 44,28 persen. Untuk nonfiksi,
sebesar 21,07 persen. Data BPS tahun 2006 juga menunjukkan, masyarakat lebih memilih
televisi sebagai sumber informasi, sebesar 85,9 persen. Sedangkan yang dari membaca, hanya
23,5 persen.
Di tengah tantangan ini, juga mengingat kian gencarnya persaingan surat kabar dewasa ini,
penting bagi perusahaan untuk memahami perilaku konsumennya dalam memutuskan membeli.

Kesimpulan
faktor pengaruh yang turut andil jika kita hendak membicarakan perilaku konsumen
antara lain :
Faktor internal : , sikap, kepribadian, penghematan, dan proses belajar.
Faktor eksternal : faktor kebudayaan, keluarga, kelompok referensi, kelas sosial, demografi, dan
Ekonomi. (1) memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4)mengingatkan.
Pengelola surat kabar harus terang
merumuskan bauran pemasaran yang tepat untuk memenangkan publik pembaca. Sebab,
perubahan besar dunia komunikasi informasi dan meningkatnya kaum terdidik, ikut andil dalam
mendongkrak tuntutan kualitas yang lebih baik.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 (Suara
Merdeka, 15 Maret 2007), penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11
persen, sedangkan tabloid/majalah sebesar 29,2 persen.
Untuk buku, ternyata jenis fiksi lebih digemari, yaitu sebesar 44,28 persen. Untuk nonfiksi,
sebesar 21,07 persen. Data BPS tahun 2006 juga menunjukkan, masyarakat lebih memilih
televisi sebagai sumber informasi, sebesar 85,9 persen. Sedangkan yang dari membaca, hanya
23,5 persen.

DAFTAR PUSTAKA
Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Engel, James F. , Roger D Blackwell, dan Paul W Miniard. 1995. Perilaku Konsumen, Jilid I Edisi 6 (alih bahasa: Drs. FX Budiyanto). Jakarta: Binarupa Aksara.
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Jilid 1 Edisi 9 (Alih Bahasa: Hendra Teguh dan Rony A. Rusli). Jakarta: Prenhallindo.
Kotler, Philip dan Amstrong. 2004. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid I Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Rahcmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Swastha, Basu. Dan T. Hani Handoko. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Liberty.
Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Wibowo, Indiwan Seto Wahju. 2006. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Pelatihan Jurnalistik Antara Press.

1 comments:

Coleen mengatakan...

makasih uraiannya, minta ijin buat aku sadur untuk tugas STP